Berbagai peristiwa penyimpangan moral yang kerap terjadi saat ini menunjukkan bahwa ilmu yang tinggi ternyata tidak menjamin seseorang menjadi pribadi yang arif dan bijaksana. Tudingan atas penyimpangan ini sering diarahkan pada lembaga pendidikan dan guru yang dinilai gagal dalam mendidik murid-muridnya. Padahal sesungguhnya, permasalahan karakter bukan semata tanggung jawab lembaga pendidikan, namun tanggung jawab semua elemen sampai ke tingkat individu.
Agama menyoal pentingnya memperoleh pendidikan yang benar karena pendidikan merupakan titik awal dari setiap aktivitas manusia. Penciptaan atas manusia adalah paket sempurna karena Allah SWT memberinya alat untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendengaran, penglihatan dan kebijaksanaan. Allah SWT berfirman:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan Allah telah membawa kamu keluar dari rahim ibumu saat kamu tidak tahu apa-apa. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati yang bisa kamu syukuri (kepada Allah SWT)” (An Nahl, 78).
Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, kata ‘pendidik’ sering kali diidentikkan dengan guru, ustadz, dosen, atau siapa saja yang secara formal berperan di lembaga pendidikan. Pandangan ini tentu tidak salah, tetapi sesungguhnya terlalu sempit. Padahal kata ‘guru’ dan ‘pendidik’ mempunyai perbedaan makna. Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar, sedang pendidik adalah orang yang memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (https://kbbi.web.id/). Jadi, bisa dikatakan bahwa tidak semua orang adalah guru, namun semua orang adalah pendidik.
Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, melainkan setiap individu yang diberikan akal dan hati bersih. Dengan kata lain, Islam menegaskan bahwa setiap orang harus menempatkan diri sebagai pendidik. Konsep ini menjadi penting karena pendidikan sejatinya bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga pembentukan akhlak, sikap, dan kebiasaan. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki peran sebagai teladan dan penanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, maupun masyarakat luas.
Islam memandang pendidikan sebagai bagian integral dari kehidupan seorang muslim. Sejak lahir, manusia bisa belajar dari tanda-tanda yang diberikan alam sekitarnya. Allah SWT menghadiahkan sebuah mushaf dimana segala macam ilmu bisa ditemukan di dalamnya yaitu Al Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menekankan pentingnya setiap mahluk untuk belajar dan bertanggung jawab moral terhadap setiap ilmu yang didapatnya. Allah SWT berfirman:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Ayat pertama yang turun ini menegaskan bahwa menuntut ilmu dan menyebarkannya adalah bagian dari perintah Allah. Bahkan, perintah awal manusia berliterasi berawal dari Al Qur’an yaitu melalui turunnya ayat tersebut. Namun, sangat sempit apabila penyebaran ilmu diartikan hanya terbatas pada ruang kelas formal. Sesungguhnya ilmu sejati tidak hanya ditangkap melalui pembelajaran, namun juga melalui teladan, tutur kata, maupun sikap hidup yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, siapa saja yang berkontribusi dalam menanamkan nilai kebaikan sesungguhnya telah berperan sebagai pendidik. Kesadaran bahwa setiap individu adalah pendidik yang berkewajiban mendidik orang lain, seharusnya menjadikan setiap pribadi menjadi mahluk yang terus belajar dan menjaga akhlaknya.
Ruang Pendidikan Akhlak
Ruang pendidikan pertama dan utama adalah keluarga. Islam menekankan bahwa pondasi akhlak generasi penerus harus dibangun dari keluarga. Setiap orang diberikan amanah oleh Allah SWT untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari keburukan. Artinya, baik-buruknya akhlak seorang anak tergantung dari penanaman nilai-nilai kebaikan dari keluarga sejak dini. Allah SWT dalam QS. At-Tahrim: 6 berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” Ayat ini mempertegas peran keluarga sebagai benteng akhlak generasi yang diturunkannya. Orang tua tidak boleh hanya sekadar memberi nafkah materi. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan iman, moral, dan akhlak anak-anaknya. Mereka juga tidak dibenarkan menyerahkan pendidikan anaknya pada lembaga pendidikan semata.
Rasulullah SAW menguatkan ayat Al Qur’an dengan bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasullullah SAW menekankan bahwa keluarga memiliki pengaruh besar terhadap arah perkembangan anak. Maka, dengan jelas Islam memberikan sinyal bahwa menjadikan pendidikan keluarga sebagai basis pembentukan akhlak mulia generasi penerus adalah kewajiban yang tidak terelakkan.
Pondasi pendidikan yang kedua adalah masyarakat. Setiap individu di masyarakat, baik sadar maupun tidak, akan memberikan teladan bagi orang lain, terlepas teladan baik atau buruk. Seorang pedagang yang jujur, misalnya, telah memberikan pendidikan moral bagi pembelinya. Seorang pemuda yang disiplin menjaga salat berjamaah di masjid memberi inspirasi bagi teman-temannya. Di sisi lain, seorang pemabuk atau pelaku klithih bisa jadi menginspirasi orang lain untuk berbuat buruk. Keluarga yang tidak harmonis bisa jadi melahirkan anak-anak yang tidak humanis.
Al-Qur’an menekankan pentingnya peran masyarakat dalam saling mengingatkan. Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan merupakan budaya sosial sehingga setiap muslim memiliki tanggung jawab sosial untuk mendidik, mengajak, dan menasihati orang lain agar berjalan di jalan kebaikan. Sedangkan sekolah hanyalah kepanjangan tangan dari keluarga dan masyarakat dalam memberikan ilmu dan menanamkan akhlak mulia.
Di era modern, khususnya dengan kehadiran media sosial, konsep bahwa setiap orang adalah pendidik menjadi semakin nyata. Kemudahan teknologi berdampak pada kemudahan setiap individu menyuarakan apa yang ada di hati dan kepalanya. Apa yang diunggah, ditulis, atau diucapkan di ruang digital dapat memengaruhi ribuan bahkan jutaan orang penontonnya. Di sinilah tanggung jawab moral seorang muslim diuji. Sayangnya, banyak pengguna media sosial mengunggah konten-konten yang tidak mendidik. Mereka tidak sadar bahwa orang lain akan membaca bahkan mungkin meniru apa yang dilakukannya. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis yang ditulis pada masa lalu ternyata disadari sangat relevan dengan etika bermedia sosial saat ini. Ada masa dimana manusia membuat status, bermomentar atau mengunggah sesuatu tanpa memikirkan dampaknya. Era keterbukaan menafikan peran setiap individu sebagai pendidik.
Saat ini adalah era di mana pendidikan akhlak ditimpakan pada sekolah, dalam hal ini guru. Setiap kesalahan generasi muda dianggap kesalahan pendidikan di forum-forum formal. Setiap orang lupa bahwa mereka adalah pendidik yang walaupun tidak di forum formal, apa yang mereka lakukan sangat dipandang oleh banyak mata dan dicerna oleh banyak akal dan hati.
Menyadari bahwa setiap orang adalah pendidik berarti setiap individu harus berhati-hati dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Pendidikan bukan sekadar kata-kata, melainkan teladan nyata. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam hal ini. Allah SWT. berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...” (QS. Al-Ahzab: 21).
Keteladanan Rasulullah SAW menjadi bukti bahwa pendidikan yang paling kuat adalah melalui akhlak. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. Bahkan Islam menempatkan akhlak di atas ilmu. Dengan demikian, setiap orang yang ingin menjadi pendidik harus terlebih dahulu memperbaiki dirinya. Tidak mungkin seseorang mendidik orang lain jika dirinya sendiri tidak berperilaku baik. Oleh karena itu, pendidikan diri menjadi dasar sebelum mendidik orang lain.
Perlu disadari oleh setiap orang bahwa pendidikan tidak hanya menjadi tugas guru di sekolah atau ustadz di majelis taklim, melainkan tanggung jawab semua individu. Dalam keluarga, orang tua adalah pendidik utama yang mendasari akhlak penerusnya. Dalam masyarakat, setiap perilaku adalah teladan nyata bagi generasi muda. Dalam ruang digital, setiap unggahan dapat menjadi guru bagi pemirsanya.
Sudah saatnya setiap orang menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, yang setidaknya mampu mendidik dirinya sendiri, keluarganya, dan lingkungannya. Dengan kesadaran ini, diharapkan generasi yang lebih baik akan tercipta. Setiap generasi yang lahir dapat berguru pada kehidupan yang dibangun berdasar ilmu dan akhlak yang benar.