Kecerdasan buatan (AI) kini telah merambah dunia industri, kesehatan, komunikasi, hingga pendidikan. Kehadirannya membawa janji efisiensi dan kemudahan: sistem pembelajaran adaptif, asisten virtual yang siap menjawab pertanyaan murid, hingga otomatisasi tugas administratif yang selama ini menyita waktu guru. Namun, di balik gemerlap manfaat itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah guru masih relevan di era AI? Jawabannya jelas: ya. Tetapi relevansi itu hanya akan bertahan jika guru mampu menjawab tantangan baru yang muncul seiring derasnya arus teknologi.
AI memang menawarkan solusi instan. Murid bisa mendapatkan jawaban tanpa harus membuka buku, berdiskusi, atau berlatih keras. Ketergantungan ini menimbulkan gejala yang mengkhawatirkan: kemalasan intelektual, tumpulnya kreativitas, dan melemahnya daya kritis. Murid tidak lagi terbiasa menguji, mempertanyakan, atau membandingkan informasi. Jika tren ini dibiarkan, kita sedang menyiapkan generasi yang rapuh. Bom waktu ini bisa meledak pada saat Indonesia tengah menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045. Alih-alih menjadi bangsa yang unggul, kita justru berisiko menghadapi krisis sumber daya manusia yang tidak siap bersaing di panggung global.
Di tengah derasnya arus teknologi, guru tetap menjadi lentera. Tantangan yang dihadapi bukan sekadar menguasai kurikulum, melainkan bagaimana menyalakan kembali api semangat belajar murid. Guru dituntut kreatif dalam merancang pembelajaran, menganalisis capaian, dan memilih strategi yang relevan. Kreativitas juga harus hadir dalam interaksi sosial: membangun relasi yang humanis, komunikasi yang efektif, serta kolaborasi yang saling menguntungkan. Kreativitas adalah energi yang membuat kelas tetap hidup, meski murid dikelilingi teknologi canggih. Namun kreativitas tanpa inovasi akan tumpul. Guru harus berani menghadirkan sesuatu yang baru: pembelajaran berbasis proyek, gamifikasi, atau integrasi teknologi daring. Inovasi menjadikan kelas lebih hidup, menyenangkan, dan memotivasi murid untuk terus berkembang. Inovasi juga menjadi bukti bahwa guru tidak kalah oleh mesin, melainkan mampu memanfaatkannya untuk memperkuat proses belajar.

Selain itu, guru dituntut adaptif. Setiap murid memiliki kebutuhan unik. Guru yang adaptif mampu menyesuaikan strategi dengan kecepatan dan kapasitas individu. Dengan pemantauan berkelanjutan, kelemahan murid dapat segera diperbaiki, sehingga proses belajar tetap optimal dan penuh motivasi. Adaptasi adalah seni membaca murid, sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh algoritma. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga nilai, penuntun moral, dan penggerak karakter. Di era AI, guru harus menjadi sosok yang mengingatkan murid bahwa belajar bukan sekadar mencari jawaban, melainkan proses membentuk diri, membangun daya juang, dan menyiapkan masa depan.
AI memang menawarkan jalan pintas, tetapi guru adalah lentera yang menuntun murid agar tidak tersesat dalam gelapnya kemudahan instan. Kreativitas, inovasi, dan adaptasi bukan sekadar jargon, melainkan senjata utama untuk memastikan generasi muda tetap tajam, kritis, dan siap bersaing. Jika guru mampu menjawab tantangan ini, maka Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang lahir dari ruang-ruang kelas hari ini. Guru adalah arsitek masa depan, dan AI hanyalah alat. Tugas kita adalah memastikan bahwa teknologi tidak menggerus kemanusiaan, melainkan memperkuatnya. Dengan guru yang kreatif, inovatif, dan adaptif, generasi muda Indonesia akan tumbuh sebagai insan yang cerdas, kritis, dan berkarakter. Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat: di era AI, guru tetaplah pahlawan peradaban. (dee)