Yogyakarta (MAN 1 Yogyakarta) – Seminar internasional “Dealing with Teenagers’ Mental Health” yang digelar pada Jumat (08/08/2025) di Aula MAN 1 Yogyakarta bukan hanya menjadi ajang untuk lebih membuka wawasan para murid tentang permasalahan mental remaja, tetapi juga kesempatan emas untuk melatih keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris.
Bagaimana tidak, seminar ini menghadirkan dua narasumber, yaitu dr. Widyastuti dari Puskesmas Gondokusuman 2 Yogyakarta, serta dr. Kiki De Nies dari Maastricht University, Belanda. Seminar diikuti oleh sekitar 50 murid beserta beberapa guru, khususnya guru Bahasa Inggris, dan berlangsung pukul 09.00 sampai 11.00 WIB.
Kegiatan ini diselenggarakan sepenuhnya dalam bahasa Inggris, mengingat narasumber utama, dr. Kiki De Nies, merupakan mahasiswa S2 sekolah kedokteran dari Maastricht University Belanda yang sedang menjalani program internship selama enam minggu di Puskesmas Gondokusuman 2 Yogyakarta. Kehadiran kedua narasumber disambut antusias oleh para murid. Hadir pula dalam acara seminar ini adalah Kepala MAN 1 Yogyakarta Edi Triyanto, S.Ag., S.Pd., M.Pd dan Wakil Kepala Bidang Kurikulum Taufik Zamhari, S.Pd., M.Sc. Acara dibuka oleh dua orang MC yaitu Nazwa Kamila dan Fathin Hanif, murid kelas sebelas dengan bahasa Inggris yang lancar.
Dalam sambutannya, Kepala MAN 1 Yogyakarta, Edi Triyanto, S.Ag., S.Pd., M.Pd., menekankan pentingnya untuk tidak sekadar peduli terhadap kesehatan mental remaja di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks namun juga berupaya membantu orang lain agar terlepas dari masalah tekanan mental. Ia juga mendorong para murid untuk memanfaatkan momen ini sebagai ajang berlatih berbicara bahasa Inggris secara langsung. “Jangan hanya pasif mendengarkan penjelasan dr. Kiki De Nies, tapi juga berlatih speaking dengan bertanya hal-hal yang kalian ingin ketahui. Jangan malu berbicara ya, salah sedikit tidak apa-apa, nanti lama-lama akan lancar,” ujar Edi.
Sambutan berikutnya diberikan oleh dr. Widyastuti. Dokter yang biasa disapa dr.Uthi ini mengungkapkan bahwa banyak gangguan mental berakar dari masalah yang menumpuk sejak masa kecil. Menurut dr. Uthi, banyak remaja tidak mampu mengenali diri dan menyelesaikan masalahnya, sehingga seiring berjalannya waktu berkembang menjadi gangguan jiwa. “Bila seseorang terbiasa menyerah saat menghadapi masalah, di masa depan ia akan mengalami gangguan mental dan akhirnya kesulitan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya,” jelas dr Uthi.
Selanjutnya, dr. Kiki De Nies mengawali presentasi dengan mengajak peserta menonton video kasus berisi kasus bullying yang terjadi di luar negeri. Dokter yang biasa disapa dr.Kiki mengajak siswa untuk memberikan analisis terhadap peristiwa bullying dalam video tersebut. Murid-murid sangat antusias mendiskusikan isi video dan beberapa diantaranya memberikan pendapat di forum tersebut. Salah satu analisis berasal dari Kenzi siswa kelas duabelas. Menurut Kenzi, bullying seperti yang digambarkan di video kerap terjadi karena adanya normalisasi di masyarakat. “Padahal setiap orang berbeda dalam menerimanya. Ada orang yang bermental kuat sehingga tahan ketika dibuli, namun ada pula yang lemah sehingga bullying menjadi hal yang melukai batinnya,” ungkap Kenzi.
Riani Syafa yang juga merupakan murid kelas duabelas bertanya kepada dr. Kiki hal yang agak pribadi tentang bagaimana dr. Kiki mengatasi masalah mentalnya. Dokter Kiki menjawab bahwa ia meluangkan waktu setiap hari untuk melepaskan stressnya seperti berolah raga, berjalan-jalan atau melakukan aktifitas positif lainnya. “Setiap orang mempunyai masalah mental. Sehingga, setiap orang harus mengenali dirinya masing-masing agar ia tahu bagaimana harus mengatasi stressnya,” terang dr. Kiki.
Sepanjang acara, dr. Kiki De Nies mengaku sangat terkesan, bukan hanya dengan pertanyaan kritis yang diajukan murid MAN 1 Yogyakarta, tetapi juga kemampuan bahasa Inggris mereka yang mumpuni. Bahkan, ia membatalkan rencana menerjemahkan presentasinya ke bahasa Indonesia dengan bantuan dr. Widyastuti setelah mengetahui kemampuan bahasa Inggris murid MAN 1 Yogyakarta yang cukup baik. “Di beberapa tempat, kami sering kesulitan menciptakan suasana interaktif karena kendala bahasa, tetapi di sini berbeda. Banyak murid aktif berbicara dalam bahasa Inggris, bahkan tanpa menunggu sesi tanya jawab,” tutur dokter yang sangat ramah ini. (luf)