Yogyakarta (MAN 1 YK)—Salah satu tolak ukur keberhasilan lembaga pendidikan adalah peran para alumninya, atau outcome-nya di masyarakat. Peran mereka pun sangat dinantikan, terlebih madrasah atau sekolah (almamaternya), yang menjadi tempat mengenyam pendidikan dan pengajaran. Pada umumnya secara emosional mereka tergerak untuk turut berkontribusi dalam memajukan almamaternya.
Seperti kegiatan “share and care” yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Hakim asrama MAN 1 Yogyakarta, dalam Masa Ta’aruf Santri Ma’had, Selasa(25/7) malam. Kegiatan ini diikuti oleh para santri program MAN-PK dan seluruh santri asrama 1, di Perpustakaan, lantai 2.
Hadir sebagai narasumber malam itu, Dr. Ahmad Yani Anshori, M.Ag. alumnus MAN-PK MAN 1 Yoyakarta angkatan ke-2 (tahun 1988). Dalam menuntut ilmu kata Yani, demikian sapaan akrabnya, seorang santri harus mengetahui syarat dan etika.
“Akhi, lan tanaalal ‘ilma illaa bisittatin. Sa'unbiika an tafshiilihaa bibayaanin. Dzakaaun, wa hirshun, wajtihaadun, wadhirhamun, washuhbatu ustaadzin, wathuulu zamaanin.(Wahai saudaraku, tak akan kau gapai ilmu, kecuali dengan enam perkara. Akan kuberitahukan kepadamu perinciannya: kecerdasan, ambisi, kesungguhan, biaya, membersamai guru, panjangnya masa),”ungkapnya, mengutif syair Imam Syafi’i.
Saat belajar, menurutnya, santri tidak perlu ia berpikir ingin jadi apa, misalnya ingin jadi pegawai, dosen, dokter, dan lain sebagainya. Semestinya, kata Yani ada dua hal yang wajib dicamkan oleh para santri adalah berniat belajar dan berbakti atau khidmah.
“Lithaalibi an yata’allama, wa yakhduma(seorang penuntut ilmu(baca:santri) diwajibkan belajar dan ber-khidmah(mengabdi),”tuturnya.
Terangnya, setelah belajar kemudian khidmah. Maka dalam kehidupan sehari-hari dalam mencari ilmu, seorang santri harus saling menolong antar sesama. Kemudian, santri tidak boleh mempunyai rasa iri, apalagi dengki dan rasa permusuhan. Kalau sampai hal itu bercokol dalam dirinya, maka ilmu Allah itu pintu akan ditutup, dan tidak masuk ke dalam dirinya.
“Famanis taqaama bihimaa, futihat lahu abwaaba anwaa’I barokah(barang siapa beristiqomah melakukan dual itu, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu keberkahan),”imbuhnya.
Di samping itu kata Yani, seorang santri harus mengenal dan mengetahui jati dirinya. Pasalnya zaman sekarang ini, banyak orang yang tidak mengenal jati dirinya, atau juga punya nama tetapi tidak punya jati diri. Maka untuk mengenal jati diri, seorang santri harus selalu berusaha bersama Allah, kalau belum mampu maka hendaklah ia bersama orang-orang yang telah bersama Allah.
“Kun Ma’allaah, fa in lam takun ma’allah, fakkun ma’a man kaana ma’aallaah, fa innahun yuushiluka ilallaahiin kunta ma’ahu(Besertalah kamu dengan Allah. Jika kamu tidak bisa, besertalah dengan orang yang beserta dengan Allah, karena sesungguhnya ia dapat menyampaikan kamu (menuntun sadar) kepada Allah jika kamu beserta dengannya),”ujarnya.
Yani mengajak para santri belajar dari guru(asatidz), melalui para kyai dan asatidz lah, para santri bisa menemukan jati dirinya, dan sampai kepada Allah. “Jangan belajar dari Google, itu tidak tepat,”tegasnya.
Para santri mengikuti acara “share and care” malam itupenuh antusias. Banyak dan beragam pertanyaan yang diajukan dalam sesi tanya jawab, kepada narasumber.(dzl)