Meretas Fakta Sejarah melalui Sastra
Oleh Singgih Sampurno, S.Pd., M.A.
Sastra kembali menghadirkan peristiwa sejarah melalui karya Leila Chudhori yang berjudul Pulang. Persoalan sejarah yang semestinya generasi muda mengetahuinya. Banyak sejarah yang tidak mampu kita rekam, melalui buku-buku yang sudah ada. Kali ini melalui novel Pulang, kita diajak menelusuri jejak orang-orang Indonesia yang tidak dihitung masuk himpunan Indonesia semasa Orde Baru. Karakter tokoh Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe, juga Surti, Lintang, dan Segara Alam. Mereka adalah orang yang terus menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto.
Pulang, seperti disebutkan dalam sinopsis sampul belakang novel, “sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Semua ini tersaji dalam narasi yang tertata apik. Leila S. Chudori berhasil meracik unsur-unsur naratif secara meyakinkan.
Semua itu memberikan kesempatan yang luas kepada siswa-siswi kelas XI Bahasa MAN Yogyakarta I untuk melihat lebih jauh persoalan sejarah melalui karya sastra. Hal ini seiring dengan harapan MAN Yogyakarta I untuk senantiasa mendorong siswa-siswi kelas XI Bahasa membangun kesadaran kritis dan imajinasi. Oleh karena itu, kegiatan Diskusi Novel Pulang Karya Leila Chudhori yang menghadirkan Prof. Dr. Faruk HT (Dosen Sastra UGM), Dr. Budiawan (Dosen tidak tetap Sejarah UGM, serta penulis novelnya, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM diharapkan dapat menambah wawasan siswa-siswi kelas XI Bahasa untuk mengenal dunia sastra yang merupakan bidangnya.
Kegiatan ini diikuti oleh 17 siswa dan guru pendamping. Diskusi dibuka oleh Dr. Budiawan yang memaparkan tentang peristiwa September 1965, lalu Perancis Mei 1968, dan Indonesia 1998. Semuanya dipaparkan dengan jelas, bahkan beliau punya mimpi kalau Indonesia bisa lebih maju, kalau tidak ada larangan terhadap orang-orang Indonesia yang eksil politik Indonesia di Paris atau Eropa untuk pulang ke Indonesia.
Selanjutnya, paparan yang disampaikan Prof. Dr. Faruk HT yang menggarisbawahi tentang Pulang: siapakah, ke manakah? Berbagai makna plural masuk dalam novel Pulang, antara lain makna pulang, makna INDONESIA, serta cara penceritaan novel ini. Pada akhir penyampaiannya, beliau memberikan kesan kalau novel ini kenes, khas Salihara.
Berbagai paparan yang disampaikan dua pembicara tersebut, kemudian diberikan penjelasan langsung oleh penulisnya. Penulis tidak sepenuhnya mengambil data-data sejarah sebagai bahan untuk menulis novel Pulang, tetapi menimbang dan memilih bahan mana yang dijadikan sebagai penceritaan. Akhirnya ”Malam sudah turun, tanpa gerutu dan tanpa siasat. Seperti jala hitam yang mengepung kota, seperti segalon tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Jakarta. Seperti juga warna masa depan yang tak bisa kuraba”.
Demikian, dengan sastra berbagai persoalan bangsa dapat dihadirkan tanpa perlu takut atau tertekan. Kita dapat menemukan ruang kosong yang gelap di sana, juga ruang kusut. Kenangan itu tentu, menggugah kita bahkan menggugat dan memberontak untuk kita benahi. Semoga. Amin.